Penerapan GCG di Indonesia mulai dilakukan sejak 2002, setelah awan kelabu krisis multi dimensi di tahun 1998 – 1999. Salah satu motor penerapan GCG di Indonesia adalah BUMN (Badan Usaha Milik Negara), dengan didorong oleh regulasi Kementerian BUMN, melalui Keputusan Menteri BUMN Nomor: Kep–117/M–MBU/2002 tentang “Penerapan Good Corporate Governance pada Bandan Usaha Milik Negara (BUMN), yang kemudian terakhir dipebaharui oleh keluarnya Peraturan Menteri BUMN Nomor: Per–01/MBU/2011.
Akan tetapi dalam perkembanganannya, kondisi praktik tata kelola perusahaan (corporate governance/CG atau good corporate governance/GCG) di Indonesia secara umum masih jauh dari menggembirakan. Hasil survei ACGA (Asean Corporate Governance Association) menunjukkan ranking penerapan GCG di Indonesia dari 11 (sebelas) negara di Asia Pasifik, ajeg menempati urutan dibawah dari tahun 2012–2016 (menempati urutan 10 atau 9, bahkan pernah paling buncit). Dari semua sektor yang ada, barangkali sektor perbankan yang sudah mulai memadai penerapan GCG-nya, termasuk elemen di dalamnya, seperti manajemen risiko dan kepatuhan. Hal ini mungkin juga karena adanya regulasi yang berlapis, seperti regulasi dari Bank Indonesia maupun OJK, karena menyangkut perlindungan terhadap dana pihak ke-3/ masyarakat.
Untuk mendorong peningkatan kualitas penerapan GCG di tanah air, Kementerian BUMN mewajibkan BUMN (dan sebagian besar BUMN-pun mewajibkan entitas anak usahanya) untuk melakukan evaluasi penerapan GCG setiap tahunnya. Kementerian BUMN-pun telah mengeluarkan panduan untuk melakukan penilaian & evaluasi penerapan GCG melalui Keputusan Sekretaris Kementerian BUMN Nomor: SK–16/S.MBU/2012 (dikenal dengan GCG BUMN Scorecard). Selain itu ada pula model penilaian GCG yang diterbitkan oleh lembaga independen, seperti ACGA dengan GCG Asean Scorecard-nya.
Jika kita search di mesin penjelajah internet, lalu membuka situs perusahaan–perusahaan nasional, baik itu BUMN atau swasta, perusahaan emiten (listed/go public)) atau private; kita amati informasi soal capaian skor penerapan GCG mereka tidak sedikit yang rerata capaiannya di angka 80 s/d 90%, bahkan nyaris 100%; terlebih dengan menggunakan model pengukuran GCG BUMN Scorecard. Ironinya, banyak perusahaan yang capaian GCG-nya (dalam prosentase tinggi), namun management performance-nya atau capaian bisnisnya datar–datar saja bahkan ada yang menahun “berdarah–darah”. Anomali-pun tak terhindarkan, dimana perusahaan mengalami “default”, seperti kasus gagal bayar uang pertanggungan pemegang polis asuransi yang telah jatuh tempo. Atau kita mendengar atau menyaksikan berita di layar kaca soal terciduknya direksi suatu perusahaan oleh KPK atau Kejaksaan karena tersndung korupsi.
Kejadian–kejadian tersebut mengingatkan penulis pada beragam argumentasi oleh para pemerhati GCG hampir satu dasawarsa yang lalu. Dalam suatu diskusi oleh pemerhati GCG muncul argumen bahwa governance dan management adalah dua soal yang berbeda. Meskipun tidak menampik ada keterkaitan antara keduanya. “Ibarat membangun suatu jembatan, ‘governance’ adalah adalah rancang bangunnya (design), sedangkan manajemen adalah pekerjaan konstruksinya. Jadi bila ‘good governance’ & ‘good management’ dilakukan, maka kita akan mengerjakan hal yang benar dengan benar” [Sadhono Hadi, “Mengenal Good Corporate Governance, Apa, Mengapa, Dan Bagaimana”; Penerbit PT Jasa Marga (Persero), edisi pertama, 2006, hal. 33]. Sedangkan argumen yang lain menyatakan bahwa penerapan GCG seyogyanya memiliki deliverible yang jelas terhadap kinerja (performance management). Argumen ini menguatkan stigma bahwa penerapan GCG di Indonesia “sekedar menggugurkan kewajiban”. Kelompok ini salah satunya mengkritisi content “GCG BUMN Scorecard” yang brsifat “checklist”, yang tidak mengukur benang merahnya dengan capaian kinerja.
Atau bisa jadi penerapan GCG bagaikan (maaf) kotoran ayam dengan pepatah yang berbunyi “hangat-hangat tai ayam”. Ingatan penulispun tertuju pada kejadian di sekitar tahun 2008 di atas anjungan kapal penyeberangan (ferry) dari pelabuhan Ketapang (Banyuwangi) menuju Gilimanuk (Bali) dengan salah satu direksi BUMN.
Saat itu penulis ditugasi oleh kantor konsultan tempat penulis bekerja sebelum bergabung dengan CENTROIS, membantu menangani proyek pekerjaan sosialisasi penerapan GCG pada salah satu BUMN yang bergerak di bidang transportasi air/laut. Setelah sebelumnya di tahun 2007 kami berkeliling di pelabuhan penyeberangan mereka di wilayah Indonesia bagian Barat untuk pekerjaan yang sama. Direksi BUMN tersebut bercerita bahwa beliau tengah berpikir keras untuk mencari jawaban atas kinerja keuangan yang meningkat setelah adanya GCG dan terlebih setelah sosialisasi penerapan GCG di wilayah bisnis mereka di Indonesia bagian Barat. Beliau menduga ada korelasi, setelah dilakukan sosialisasi GCG ada laporan bahwa praktek “tiket mutar” yang jamak terjadi sebelum–sebelumnya di pelabuhan, sangat jauh berkurang kalau tidak bisa dikatakan “hilang” sama sekali. Believe or not.
Pengalaman penulis berbincang di atas kapal ferry di atas menjadi semacam “premis” bahwa GCG akan lebih bernas, jika seluruh stakeholder internalnya memiliki “krentek’ (istilah bahasa Jawa) atau soul yang dibarengi tindakan yang etis. Dan nampaknya faktor kepemimpinan organisasi menjadi pemicu utama jalan tidaknya GCG. Karena pada hakekatnya GCG menjadi tanggung jawab pimpinan perusahaan, dimana kepeloporan dan keteladanan akan menstimulus pelaksanaan GCG oleh seluruh karyawan.
Apakah ranking GCG yang masih jauh dari menggembirakan di bandingkan 11 (sebelas) negara Asia pasifik sebagaimana laporan hasil survei oleh ACGA; karena soal keteladanan kepemimpinan organisasi yang naik–turun yang berefek pada terombang–ambingnya soul para karyawannya untuk melaksanakan GCG secara konsiten tegak lurus, atau sangat bergantung pada situasi.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa penerapan GCG di Indonesia masih membutuhkan upaya yang lebih keras dari semua pemangku kepentingan untuk mencapai tingkat kematangan implementasi (maturitas) yang baik/ideal.
Bambang Wahyudi, Managing Partner